Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan
dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia
yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri.
Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan
proses belajar-mengajar. Melalui
belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami
perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar
yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori
belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan
tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan
indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku.
Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu
itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada
belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti
juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas
mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan
dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar
adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam
diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya
untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah
laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai
dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung
termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat
dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa
teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss,
ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir
khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan
berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu
akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap
amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.
Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat
sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang,
mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan
kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting
muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu
menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b.
Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan
anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai
realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat
banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya
yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c.
Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran
logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan
diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu
berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting
yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk
sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas.
Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang
mengetahui bila membuat kesalahan.
d.
Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu
berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat
memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh
karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat
hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif
anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
Taxonomy SOLO
Teori
belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori
pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik
melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang
cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa
pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama
dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang
anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran
dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat
diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan
berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para
peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam
memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil
pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi
sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah
pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian
theories.
Biggs
dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar
Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan
dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed
Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized
cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual
respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka
menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa
hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized
cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka
HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh
pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan
suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti
yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah
beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan
erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi
penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa
dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada
level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa
berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada
level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak
dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang
berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari
uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada
analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan
butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak
difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada
melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.
Untuk
menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang
tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991:
60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”.
Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan
Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan
level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena
itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah
batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan
seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus,
ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi
normanya.
Berikut
adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1.
Mode Sensorimotor
Focus
perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun
kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan
lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan
oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2.
Mode Iconic
Pada
mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan
elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut
digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak
yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak,
senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental.
Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang
berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal
ada pada mode concrete symbolic.
3.
Mode Concrete Symbolic
Pada
mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai
merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan,
yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di
dunia.
Sebuah
system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi
sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem
symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode
concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika
sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan
objek-objek yang berada di sekitarnya.
4.
Mode Formal
Pada
mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi
teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini
meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional.
Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan
Tinggi.
5.
Mode Post Formal
Keberadaan
mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada
penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari
mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari
sesuatu hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat
menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat
diterapkan di berbagai bidang.
Berikut
adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada
tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan
tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama
sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada
tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep
dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami.
Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan,
mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada
tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat
terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif.
Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan
meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang
mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau
mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar,
menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada
tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan
dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen
dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta
telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa.
Adapun kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain;
membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan,
menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5.
Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya
sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan
konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan
sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang
merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun
suatu konsep.
Teori Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar
yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap
perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah seorang guru
bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran geometri. Hasil
penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan
tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran
geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan,
jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak
kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir
dalam belajar geometri yaitu;
a.Tahap
Pengenalan
Dalam
tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk
geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada seorang anak
diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan
yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai
sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b.Tahap
Analisis
Pada
tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda
geomeri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat
pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia
telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua
pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda
geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah
persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c.Tahap
Pengurutan
Pada
tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal
dengan sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara
penuh. Pada tahap ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah
mulai mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat
adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang,
anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu
bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini
masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama
panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari
dua segitiga yang kongruen.
d.Tahap
Deduksi
Dalam
tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka
juga telah mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping
unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami
dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat atau
aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat
dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat
sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya,
namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat
dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua segitiga yang sama dan
sebangun(kongruen).
e.Tahap
Akurasi
Dalam
tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui
pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap
akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena
itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk dibangku
sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan
di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak
teori belajar konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner,
Bloom, Freudenthal dan lain-lain.
Referensi:
Ahmadi, Abu dan Supriono,
Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available:
http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm Accessed: diakses tanggal
17 January 2009.
Biggs, J.B & Collis,
K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New
York: Academic Press
Biggs, J. B. and Collis, K.
F. (1991). Multimodal learning and the quality of intelligent behaviou. In
H.Rowe (ed.).
Crowley, L Mary.(1987). “The
Van Hiele Model of the development of Geometric Thought.” Dalam Learning
and teaching Geometry, K-12. National of Teacher of mathematics (NCTM).
United State of America.
Karso, et.al.(1993).
Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.
Suherman, Erman & Winataputra, Udin
S. (1992). Strategi Belajar Mengajar
Matematika. Depdikbud. Jakarta.
Winkel, W.S. (1996). Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Grasindo
Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa
tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”.
Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran kognitif. Didasarkan pada kognisi,
yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu
terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu
dan memeperoleh “insight”untuk pemecahan masalah. Jadi kaum
kognitif berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung
kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatu situasi.
Keseluruhan adalah lebih daripada bagian-bagian. Mereka memberi tekanan pada
organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta pada
faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam
belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk reppresentatif yang mewakili
obyek-obyek itu di representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang
melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang
bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama
mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri.
Tampat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat
diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada
waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dan
tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang
mendengarkan ceritanya.
2.1 Awal Pertumbuhan Teori-Teori Belajar
Kognitif
Psikologi kognitif mulai
berkembang dengan lahirnya teori belajar “gestalt” peletak dasar
psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer ( 1880-1943) yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving sumbangan nya ini diikuti oleh Kurt Koffka
(1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan;
kemudian Wolfgang penelitian-penelitian mereka menumbuhkan Psikologi Gestalt
yang menekankan bahasa pada masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan
dalam pengalaman. Kaum Gestaltis berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur
stimulus dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang
terpisah.
Suatu konsep yang penting
dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insaightí yaitu pengamatan atau
pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagianb-bagian di dalam
suatu situasi permasalahan hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu
situasi permasalahan . Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan
“aha atau “oh, I see now”
Kohler (1927) menemukan
tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkan simapse pada masalah
bagaimana memperoleh pisang yang terletak di luar kurungan atau tergantung di
atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler mengamati, bahwa kadang kala simpase
dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala gagal meraih pisang,
kadangkala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan
pemecahan masalah.
Wertheirmer (1945) menjadi
orang Gestaltis yang mula-mula menghubungkan pekerjaan dengan proses belajar di
kelas. Dari pengamatannya itu ia menyesalkan penggunaan menghafal di sekolah
dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan Getaltis,
semua kagitan belajar ( baik pada simpase maupun pada manusia ) menggunakan
insight atau pemahaman terhadap hubungan anatara bagian dan keseluruhan.
Menurut psikologi Gestalt, tingkah laku kejelasan belajar adalah lebih
meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.
2.2. Teori Belajar “ Cognitive-
Field” dari Lewin
Bertolak dari penemuan
Gestalt Psychology, Kurt Lewin ( 1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar “
Cognitive- Field” dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan
psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu sebagai berada di
dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis
di mana individu beraksi disebut “ life space” mencakup perwujudan
lingkungan di mana individu beraksi, misalnya Orang-orang ia jumpai, objek
materil yang ia hadapi.
Lwin berpendapat, bahwa
tingkah laku merupakan hasil iteraksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari
dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari
luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar
berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan
struktur kognitif ini adalah hasil dari dua macam kekuatan satu dari struktur
medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal
individu. Lewin memberikan paranan yang lebih penting pada motivasi dari pada
reward.
2.3 Teori Belajar “ Cognitive Development
”dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget
memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi
intelektual dari kongkret menuju abstrak.
Piaget adalah seorang
psikolog “development” karena penelitiannya mengenai tahap-tahap
perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar
individu. Dia adalah salah seorang psikolog yang suatu teori komprehensif
tentang perkembangan intelegensi atau proses berpikir. Menurut Piaget,
pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kualitiatif,
melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi menekankan penjelasan tentang
pertumbuhan struktur yang memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri
dengan lingkungan, maka Piaget tekanan penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki
masalah yang sama dari segi penyesuaian atau adaptasi manusia serta meneliti
perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur
intelektual terbentuk dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan.
Piaget memakai istilah “
scheme” secara “interchangably” dengan istilah struktur “ scheme”adalah
pola tingkah laku yang dapat diulang “ Scheme” berhubungan dengan :
-
Refleks-refleks pembawaan; misalnya bernafas, makan, minum.
-
Scheme mental misalnya “sheme of classification”, “ scheme of operation” (pola
tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap), dan “ scheme of
operation” ( pola tingkah laku yang dapat diamati)
Menurut Piaget, intelegensi
itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu:
1) Struktur, disebut juga “
scheme” seperti yang dikemukakan diatas
2) Isi disebut juga “content”
yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
3) Fungsi, disebut juga ‘
function” yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan
intelktual.
Fungsi itu sendiri terdiri
dari dua macam fungsi “ invariant” yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi: berupa kecakapan seseorang
atau organisasi dalam menyusun proses-proses fesis dan psikis dalam bentuk
sistem-sistem yang koheran.
Adaptasi : yaitu adaptasi individu
terhadap lingkungan. Adaptasi ini terdiri dari dua macam proses komplermenter,
yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimillasi : Proses penggunaan struktur
atau kemampuan individu untuk menghadapi amasalah dalam lingkungannya.
Sedangkan akomodasi, proses perubahan respon individu terhadap stimulasi
lingkungan. Pengaplikasian di dalam belajar : perkembangan kognitif
bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang beluim
diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat menggantungkan diri pada
asimilasi. Dengan adanya area baru ini siswa akan mengadakan uasaha untuk dapat
mengakomodasikan. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan
kognitif.
Jadi secara singkat dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek yaitu: strctur,
content, dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan,
struktur dan konten intelektuanya berubah atau berkembang. Fungsi dan adaptasi
akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan; masing-masing
mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikiran anak.
Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur psikologis yang
ada pada tingkat perkembangan khusus.
Tahap-tahap perkembangan
Piaget:
1)
kematangan
2)
Pengalaman fisik atau lingkungan
3)
Tranmisi sosia;
4)
Eguilibrium atau self regulation
Selanjutnya ia membagi
tingkat-tingkat perkembangan yaitu :
1)
Tingkat sensori motoris : 0,0 – 2,0
2)
Tingkat preoperasobal : 2,0 – 7,0
3)
Tingkat operasi kongkret: 7,0 – 11,0
4)
Tingkat operasi formal : 11,0
Penjelasan :
1.
Tingkat sesori motoris
Bayi lahir refleks bawaan,
skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih
kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak tidak mempunyai konsepsi tentang
objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan
inderanya.
2.
Tingkat preoperasional
Anak mulai timbul
pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai
(dilihat) di dalam lingkungannya saja. Baru pada menjelang akhir tahun ke-2
anak telah memulai mengenal simbolk atau nama. Dalam hubungan ini Philips
(1969) membagi atas (1) concretemss, (2) irreversibility (3)
centering ( ini tanpak adanya egocerntrisme) ( 4) states vs
Transformatiion dan (5) tranductive reasoning.
3.
Tingkat operasi kongkret
Anak telah dapat mengetahui
simbol-simbol matematis tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak.
Kecakapan kognitif anak ( 1) combinativity classification, (2) reversibility
( 3) associativity (4) Identity ( 5) seriallizing. Anak
mulai kurang egocentrisme-nya dan lebih socientris ( anak mulai membentuk peer
group)
4.
Tingkat operasi formal
Anak telah mempunyai
pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks. Flavell (1963)
memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Pada pemikiran abnak remaja adalah hypothetico deductive. Ia telah dapat
membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problem dan membuat keputusan terhadap
problem itu secara tepat, tetapi anak kecil belum dapat menyimpulkan apakah
hipotesisnya ditolak atau diterima.
b)
Periode propositional thinking
Remaja telah dapat
memberikan statement atau proporsi berdasarkan pada data yang kongkret. Tetapi
kadang-kadang ia berhadapan dengan proposi yang bertentangan dengan fakta.
c)
Periode combinatorial thinking
Bila remaja itu
mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia telah dapat memisahkan
faktor-faktor yang menyangkut dirinya dan mengombinasikan faktor-faktor itu.
2.4 Jerome Bruner dengan “Discovery
Learning”nya
Yang menjadikan dasar ide
J. Brune ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan
secara aktif di dalam kelas. Untuk itu, Bruner memakai cara dengan apa yang
disebutnya “ discovery learning” yaitu dimana murid mengorganisasi
bayhan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception
learning atau expository taching dimana guru menerangkan semua
informal dan murid harus mempelajari semua bahan atau informasi itu.
Banyak pendapat yang
mendukung discovery learning itu diantaranya : J. Dewey
(1933) dengan “complete art of reflective activity “atau terkenal dengan
problem solving. Ide Bruner itu ditulis dalam bukunya Process of education
Di dalam buku itu ia melaporkan hasil dari suatu konferensi diantara para ahli science,
ahli sekolah atau pengajaran dan pendidik tentang pengajaran science .
Dalam hal ini ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata pelajaran dapat diajarkan
secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan
anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui
cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke arah yang abstrak.
2.5 Fungsi kognitif
Sebagaimana dijelaskan di
lain tempat,melalui fungsi kognitif manusia menghadapi obyek-obyek dalam
bentuk-bentuk representatif yang menghadirkan obyek-obyek itu dalam kesadaran.
Hal ini paling jelas nampak dalam aktivitas mental berfikir.
1)
Taraf intelegensi-daya kreativitas Istilah “ intelegensi” dapat
diartikan dengan dua cara yaitu:
a.
Arti Luas : kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya
berfikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti pergaulan sosial, teknis, perdagangan, pengaturan rumah
tangga dan belajar di sekolah.
b.
Arti Sempit : kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di
dalamnya berpikir memegang peranan pokok intelegensi dalam arti ini, kerap
disebut “ kemampuan intelektual “ atau “ kemampuan akademik”
Di dalam intelegensi
terdapat beberapa komponen, seperti intelegensi sosial, intelegensi praktis,
ineregensi teoristis. Komponen-komponen itu tidak berperan sama besar dalam
memberikan prestasi di berbagai kehidupan, misdalnya dalam pergaulan sosial
komponen intelegensi soaial berperan lebih banyak. Komponen-komponen itu juga
tidak sama-sama kuat dalam intelegensi yang dimiliki seseorang, pada orang A
komponen intelegensi teoristis lebih kuat, pada orang B komponen intelegensi
praktis lebih kuat. Maka mungkin saja bahwa siswa A berprestasi lebih tinggi
dalam semua bidang studi yang menuntut banyak pemikiran teoritis, sedangkan
siswa B berprestasi lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang bersifat
praktis (perbedaan inter individual). Bahkan siswa C mungkin lebih tinggi dalam
banyak bidang studi yang pertama dan berprestasi lebih rendah dalam semua
bidang studi yang kedua (perbedaan intra-individual).
Mengenai hakikat
intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat di antara para ahli. Variasi dalam
pendapat nampak bila pandangan ahli satu dibandingkan dengan pendapat ahli yang
lain, khususnya pendapat dari :
a.
Terman : intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak
b.
Thorndike : intelegensi adalah kemampuan untuk menghubungkan reaksi tertentu
dengan perangsang tertentu pula, misalnmya orang mengatakan “meja” bila melihat
sebuah benda yang beraksi empat dan mempunyai permukaan yang datar. Maka makin
banyak hubungan (koneksi) semacam itu yang dimiliki seseorang, makin
intelegensi orang itu.
c.
Spearman : intelegensi merupakan hasil perpaduan antara faktor umum dan
sejumlah faktor khusus. Faktor umum ( faktor g) berperan dalam semua bentuk
berprestasi, sedangkan faktror-faktor khusus ( S1, S2, S3
dan seterusnya) berperan dalam bentuk-bentuk berprestasi tertentu, seperti
berkemampuan bahasa, berkemampuan matematis. Perpaduan itu adalah unik untuk
setiap orang, sehingga nampak perbedaan itu adalah unik untuk setiap orang,
sehingga nampak perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain.
d.
Thurstone : intelegensi merupakan kombinasi dari beberapa kemampuan dasar ( primary
abilities). Kemampuan-kemampuan dasar itu disebut “ faktor-faktor utama”
dan berjumlah tujuh, yaitu faktor bilangan, ingatan, penggunaan bahasa,
kelancaran kata-kata, pemecahan problema, kecepatan.
e.
Guilford : intelegensi merupakan perpaduan dari banyak faktor khusus. Dibedakan
produk yang diperoleh sebagai hasil dari operasi tertentu terhadap materi
tertentu. Pada dimensi yang pertama terdapat 5 faktor, pada dimensi yang kedua
terdapat 6 faktor dan pada dimensi yang ketiga terdapat 4 fakator. Maka
diperoleh jumlah faktor sebanyak 120, yaitu 5 x 6 x 4. rteori Guilford, tidak
dapat diuraikan di sini, karena bersifat sangat kompleks. Pembaca yang berminat
dapat mempelajari literatur yang membahas teori ini, misalnya J.P Guilford, The
Nature og Human Integence, 1967.
f.
Wechsler : intelegency adalah kemampuan untuk bertindak dengan mencapai suatu
tujuan, untuk berfikir secara rasional dan untuk berhubungan dengan lingkungan
secara efektif. Berdasarkan pengertian ini, disusun beberapa tes intelegensi
yang sampai sekarang masih digunakan, misalnya “ Wechenler Intelegence Scale
for Children, “ “Wechsler Adult Intelegence Scale,”
g.
Binet : Intelegency adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu
tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan dan untuk
bersikap kritis terhadap diri sendiri. Berdasarkan pengertian ini disusun tres intelegensi
yang dikenal dengan nama “test stanford-Binet “ dan sampai sekarang masih
digunakan.
h.
Gardner : mengembangkan bahwa terdapat beberapa macam intelegensi yang dapat
dibedakan yang satu dari yang lain. Dia mencatat bahwa kerusakan pada bagian
otak tertentu mengakibatkan gangguan terhadap intelegensi yang satu, tetapi
tidak terhadap intelegensi yang lain. Disamping itu dikemukakannya bahwa orang
kerap mencolok dalam satu intelegensi, tetapi tidak menunjukkan kemampuan
tinggi dalam intelegensi yang lain. Jumlah intelegensi yang disebutkan
adalah tujuh yaitu kemampuan dalam penggunaan bahasa seperti disaksikan pada
penyair dan jurnalistik;kemampuan dalam berfikir logis dan matematis seperti
yang terdapat pada seorang ahli riset ilmiah dan seorang ahli matematika.
i.
Sternberg : Teori triarkhis mengenai intelegensi artinya teori yang mengandung
tiga bagian. Bagian pertama menyangkut berbagai proses mental yang menjadi
komponen pokok dalam operasi mental terhadap representasi dari obyek0obyek
dalam alam pkiran. Bagian kedua menyangkut kemampuan seorang untuk menghadapi
tantangan baru secara efektif, dan mencapai taraf kemahiran dalam berfikir
sehingga mudah berhasil dalam mengatasi segala permasalahan yang muncul. Bagian
ketiga dalam teori Sternbeg menyoroti kemampuan untuk menempatkan diri sendiri
dalam lingkungan yang memungkinkan akan berhasil, untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan itu dan untuk mengadakan perubahan terhadap lingkungan itu
bila perlu. Kemampuan ini nampak, misalnya dalam ketetapan plihan karier, dalam
kemudahan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan kerja dan dalam
kelincahan pergaulan sosial.
Meskipun semua pandangan yang dikemukanan di
atas sangat bervariasi kebanyakan psikologi dewasa ini cenderung sependapat
bahwa tiga komponen inti dalam intelegensi adalah kemampuan untuk menangani
representasi mental dalam alam pikiran seperti konsep dan kaidah (berfikir
abstrak), kemampuan untuk belajar. Dari pihak lain adanya perbedaan dalam
pandangan mengenai hakikat intelegensi, harus membuat tenaga kependidikan
sangat hati-hati dalam membentuk pendapat di bidang ini. Bil seorang siwa dalam
testing intelegensi di sekolah mendapat hasil yang tinggi ( IQ-nya tinggi),
tidak harus berarti bahwa siswa yang bersangkutan sekaligus memiliki daya
kreativitas bagi guru yang berfikir terlalu kaku dan tidak berani keluar dari
jalur yang lazimnya yang tinbgi pula. Maklumlah , dalam testing intelegensi di
sekolah, corak berfikir konvergen yang lebih berperanan.
Seorang siswa yang terbukti mempunyai IQ yang
tinggi dan sekaligus mampu berpikir kreatif sekali, biasanya akan merepotkan
guru, karena cendrung untuk berfikir kritis, menemukan pemecahan yang baru dan
mengajukan pertanyaan yang sukar dijawab; dia merepotkan diikuti. Torrance telah
mengembangkan dua macam tes yang pertama subyek dituntut untuk mengerjakan
berbagai soal dengan menggunakan bahasa, misalnya memikirkan dan menyebutkan
sebanyak subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan
bahasa.
Dalam macam tes yang kedua subyek disuruh
untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa misalnya membuat
sebuah gambar yang masing- masing memuat dua garis vertikal yang paralel. Semua
soal itu diberi skor dalam tiga komponen, yaitu orisinalitas (sangat sedikit
orang menghasilkan pikiran seperti itu), variasi (berapa jumlah jawaban yang
berbeda), dan fleksibilitas (berapa jumlah golongan jawaban yang berbeda).
a.
Bakat Khusus merupakan kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu
misalnya di bidang studi matematika atau bahasa asing. Orang sering berpendapat
bahwa seua bakat khusus merupakan sesuatu yang langsung diturunkan oleh orang
tua, misalnya bakat khusus di bidang matematika diperoleh dari orang tua
melalui proses generasi biologis. Namun yang terakhir ini tidak akan nampak
kalau tidak dikembangkan melalui pendidikan keluarga dan sekolah. Adanya bakat
khusus di suatu bidang studi akademik, biasanya baru nampak jelas pada awal
masa remaja, karena baru pada masa itu anak telah memperoleh cukup banyak
pengalaman, sehingga terbentuk suatu bakat khusus.
b.
Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah diupelajari, disimpan
dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak. Hal ini
bergantung pada cara materi dipelajari dan diolah;makin mendalam dn makin
sistematis pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi dalam
ingatan itu sendiri.
c.
Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan
merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu dalam bahasa yang baik,
sekurang-kurangnya bahasa tertulis, Mengibgat kaitan yang ada antara berpikir
yang tepat dan berbahasa yang benar, maka tidak mengherankan bahwa siswa yang
kurang mampu berbahasa, tertinggal di belakang dibanding dengan siswa yang
berbahasa baik.
d.
Daya fantasi berupa aktivitas kognitif yang mengandung pikiran-pikiran dan
tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam
kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya menghadirkan kembali hal-hal
yang perbnah diamati tyetapi menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, tanggapan
“semut sebesar gajah” bukanlah sesuatu yang pernah diamati, meskipun materi
untuk tanggapan itu, yaitu semut dan gajah. Berasal dari pengalaman sensorik
yang kongkret.
e.
Daya fantasi mempunyai kegunaan kreatif, antisipatif, rekratif dan sosial.
Fantasi dapat berguna dalam menciptakan sesuatu yang baru (Kreasi) dalam
membayangkan kejadian mendatang dan mempersiapkan diri menghadapi kejadian itu
( antisipasi) dalam melepaskan diri dari ketegangan hidup sehari-hari
(rekreasi) dan dalam menempatkan diri dalam situasi hiosup orang lain (sosial)
f.
Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Gaya belajar
mengandung beberapa koponen, antara lain gaya kognitif dan tipe belajar. Gaya
kognitif adalah cara kognitif digunakan seseorang dalam mengamati dan
beraktivitas mental di bidang kognitif. Cara khas ini bersifat sangat
individual yang kerapkali tidak disadari dan sekali terbentuk, cendrung
bertahan terus. Dewasa ini dibedakan empat gaya kognitif yaitu :
1.
Kecendrungan untuk mengamati dan berpikir secara analisis. Sesuatu yang
dipelajari ditinjau dari beberapa sidut dan seoalah-olah dibagi atas beberapa
bagian yang masing-masing diperdalam, untuk kemudian digabung lagi. Gaya
seperti ini dilawankan dengan kecendrungan untuk mempelajari sesuiatu secara
global tanpa mengadakan peotongan atau pembagian.
2.
Perbedaan antara kedua kecendrugan ini sangat mirip dengan apa yang dikenal
sebagai ketergantungan pada medan (field dependency) lawan
ketidak-ketergantungan pada medan (field-independent). Dalam hal yang pertama
orang cendrung memandang suatu pola sebagai keseluruhan dan kerap lebih
berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial. Oleh karena itu guru
yang sungguh-sungguh mengenal kepribadian masing-masing siswa, harus
mendampinginya dalam memanfaatkan kelebihannya serta mengatasi kelemahannya..
3.
Ketahanan terhadap kecendrungan untuk meninggalkan arah atau cara yang telah
diplih dalam mempelajari sesuatu. Sekali dipilih suatu cara yang dinilai tepat
apakah cara itu mudah ditinggalkan untuk diganti dengan cara lain yang
nampaknya lebih mudah, tetapi sebanarnya kurang tepat.
4.
Luas sempitnya pembentukan pengertian (konseptualisasi) apakah seseorang
cenderung untuk membentuk konsep-konsep yang luas atau yang lebih terbatas.
Yang pertama mencakup banyak hal sekaligus yang kedua mencakup beberapa hal
saja.
5.
Keendrungan untuk sangat memperhatikan perbedaan antara obyek-obyek atau kurang
meperhatikannya. Hal initerutama menyangkut pengamatan yang dalam belajar dapat
memegang peranan penting.
6.
Kecendrungan ini mungkin dipengaruhi oleh gaya kognitif yang mendfasari yaitu
bereaksi dengan sangat cepat, namun kurang tepat (impulsif) atau bereaksi
dengan lebih lamban tetapi tepat( refleksif). Dengan meningkatknya umur anak
pada umumnya menjadi lebih refleksif, namun anak yang sejak umur muda cendrung
bera\eaksi dengan cepat tidak akan berbalik menjadi orang yang angat bereakasi
refleksif siswa yang cendrung untuk terlalu inplusif dalam berpersepsi dan
mengerjakan tugas-tugas belajar, harus dibantu untuk bekerja dengan lebih
lambat, mialnya dengan menganjurkan supaya membaca soal dalam tes secara teliti
dan menjawabnya secara terencana.
7.
Tipe belajar menunjuk pada kecendrungan seseorang untuk mempelajari seauatu
dengan cara yang lebih visual atau lebih auditif. Siswa yang tergolong tipe
visual cendrung lebih mudah belajar bila materi pelajaran dapat dilihat atau
dituangkan dalam bentuk gambar, bagan, duagram dan lain sebagainya. Namun tidak
semua siswa akan jelas trgolong kedalam salah satu tipe; mungkin saja seorang
siswa akan menyesuaikan tipe belajarnya dengan materi pelajaran yang dihadapi.
Adapula siswa yang tidak bertipe belajar apa pun dan mengalami kesulitan, baik
dalam menglah materi pelajaran secara visual maupun secara auditif.
g.
Teknik0teknik studi atau cara-cara belajar secara efisien dan efektif jelas
membantu siswa dalam belajar lebih-lebih bila belajar diu rumah. Siswa yang
telah terbiasa mengikuiti cara belajar yang tepat akan meningkatkan kemampuan
belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Van Parreren, siswa yang tidak berkemampuan
intelektual tinggi pun dapat belajar menggunakan cara belajar yang tepat .
Pertanyaan yang perlu dijawab ialah ampai
berapa jauh butrir (1) sampai (7) dapat berubah lebih-lebih hal yang
menguntungkan bagi siswa selama proses belajar mengajar menjadi lebih baik
misalnya teknik-teknik studi dan kemampuan berbahasa, daya fantasi dan teknik
studi, dapat dipengaruhi secara positif atau ditingkatkan oleh guru dan siswa
sendiri. Selama proses-proses belajar-mengajar dalam kurun waktu cukup lama,
guru mendapat kesempatan untuk membantu siswa untuk menibgkatkan semua itu.
Sehingga lama kelamaan keadaan siswa, dibidang kognitif, menjadi lebih baik.
Dengan demikian siswa memperoleh bekal yang lebih menguntungkan bagi
belajar di masa yang akan datang. Siswa sendiri dapat melatih diri di luar
proses belajar mengajar di sekolah, misalnya pada waktu mengerjakan
pekerjaan rumah, dengan dibantu oleh keluarga. Namun, usaha-usaha itu harus
dimulai seawal mungkin, sejak siswa masuk sekolah dasar.
Teori
Perkembangan Kognitif,
dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep
utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap
perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk
secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam
representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya
dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi
lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh
cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini
digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak
seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif
sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat
bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap
lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya
melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring
pertambahan usia:
- Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
- Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
- Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
- Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Periode sensorimotor
Menurut
Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga
dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui
diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah
periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini
menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam
sub-tahapan:
- Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
- Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
- Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
Tahapan praoperasional
Tahapan
ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan
permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis
yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam
teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap
objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih
bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang
lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan
semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut
Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul
antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan
keterampilan berbahasanya. Mereka mulai
merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka
masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini,
mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di
dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan
memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring
pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak
memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda
yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
Tahapan operasional konkrit
Tahapan
ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai
duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan
objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda
berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke
yang paling kecil.
Klasifikasi—kemampuan untuk memberi
nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya,
atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat
menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua
benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak mulai
mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa
memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar
tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility—anak mulai memahami bahwa
jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk
itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama
dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami bahwa kuantitas,
panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan
atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak
diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan
sifat Egosentrisme—kemampuan
untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang
memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan,
kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti
kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa
boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Tahapan operasional formal
Tahap
operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut
sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan
untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan
dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami
hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu
hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di
antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat
terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa
secara fisiologis, kognitif, penalaran
moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran
dari tahap operasional konkrit.
[Informasi umum mengenai tahapan-tahapan
Keempat
tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
- Universal (tidak terkait budaya)
- Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
- Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
- Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
- Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif
Proses perkembangan
Seorang
individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan
berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa
kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia.
Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat
dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema
mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut.
Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru
didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang
sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang
sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan
dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua
burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak
melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia
miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan
informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif,
karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang
diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam
contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung"
adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian
lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi
baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula
terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat
burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label
"burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si
anak.
Melalui
kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan
berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses
penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai
keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur
kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya
agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses
penyesuaian di atas.
Dengan
demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari
luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi
pengetahuannya.
Isu dalam perkembangan kognitif[1]
Isu
utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu perkembangan psikologi
secara umum.
Tahapan perkembangan
- Perbedaan kualitatif dan kuantitatif
Terdapat
kontroversi terhadap pembagian tahapan perkembangan berdasarkan perbedaan
kualitas atau kuantitas kognisi.
- Kontinuitas dan diskontinuitas
Kontroversi ini membahas apakah
pembagian tahapan perkembangan merupakan proses yang berkelanjutan atau proses
terputus pada tiap tahapannya.
- Homogenitas dari fungsi kognisi
Terdapat
perbedaan kemampuan fungsi kognisi dari tiap individu
Natur dan nurtur
Kontroversi
natur
dan nurtur
berasal dari perbedaan antara filsafat nativisme dan filsafat empirisme. Nativisme mempercayai
bahwa pada kemampuan otak manusia sejak lahir telah dipersiapkan untuk tugas-tugas
kognitif. Empirisme mempercayai bahwa kemampuan kognisi merupakan hasil dari
pengalaman.
Stabilitas dan kelenturan dari kecerdasan
Secara
relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan
kemampuan kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan dengan usia 15
tahun.
Sudut pandang lain
Pada
saat ini terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan
perkembangan kognitif.
- Teori perkembangan kognitif neurosains [2]
Kemajuan
ilmu neurosains dan teknologi memungkinkan mengaitkan antara aktivitas otak dan perilaku. Biologis menjadi dasar dari pendekatan ini
untuk menjelaskan perkembangan kognitif. Pendekatan ini memiliki tujuan untuk
dapat mengantarai pertanyaan mengenai umat manusia yaitu
- Teori Konstruksi pemikiran-sosial
Selain
biologi, konteks sosial juga merupakan salah satu
sudut pandang dari perkembangan kognitif. Perspektif ini menyatakan bahwa
lingkungan sosial dan budaya akan memberikan pengaruh terbesar terhadap
pembentukan kognisi dan pemikiran anak. Teori ini memiliki implikasi langsung pada
dunia pendidikan. Teori Vygotsky menyatakan bahwa anak belajar secara aktif
lebih baik daripada secara pasif. Tokoh-tokohnya diantaranya Lev
Vygotsky, Albert
Bandura, Michael
Tomasello
- Teori Theory of Mind (TOM)
Teori
perkembangan kognitif ini percaya bahwa anak memiliki teori maupun skema
mengenai dunianya yang menjadi dasar kognisinya. Tokoh dari ToM ini diantaranya
adalah Andrew
N. Meltzoff
Referensi
- Bjorklund, D.F. (2000) Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth
- Cole, M, et al. (2005). The Development of Children. New York: Worth Publishers.
- Johnson, M.H. (2005). Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford : Blacwell publishing
- Piaget, J. (1954). "The construction of reality in the child". New York: Basic Books.
- Piaget, J. (1977). The Essential Piaget. ed by Howard E. Gruber and J. Jacques Voneche Gruber, New York: Basic Books.
- Piaget, J. (1983). "Piaget's theory". In P. Mussen (ed). Handbook of Child Psychology. 4th edition. Vol. 1. New York: Wiley.
- Piaget, J. (1995). Sociological Studies. London: Routledge.
- Piaget, J. (2000). "Commentary on Vygotsky". New Ideas in Psychology, 18, 241–259.
- Piaget, J. (2001). Studies in Reflecting Abstraction. Hove, UK: Psychology Press.
- Seifer, Calvin "Educational Psychology"
Bacaan lebih lanjut
- Geary, D. C. (2004). Evolution and cognitive development. In R. Burgess & K. MacDonald (Eds.), Evolutionary perspectives on human development (pp. 99-133). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Teks selengkapnya
- Wagner, K. V. Background and Key Concepts of Piaget's Theory
Referensi
1. ^ Bjorklund, D.F. (2000) Children's Thinking:
Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA :
Wadsworth
2. ^ Johnson, M.H. (2005) Developmental cognitive
neuroscience. 2nd ed. Oxford : Blacwell publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar