Minggu, 30 Juni 2013

Teori Belajar Kognitif



Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
Taxonomy SOLO
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.
Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1. Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal ada pada mode concrete symbolic.
3. Mode Concrete Symbolic
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
5. Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.
Teori Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar geometri yaitu;
a.Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b.Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c.Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d.Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga telah mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua segitiga yang sama dan sebangun(kongruen).
e.Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak teori belajar konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom, Freudenthal dan lain-lain.
Referensi:
Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available: http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm Accessed: diakses tanggal 17 January 2009.
Biggs, J.B & Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New York: Academic Press
Biggs, J. B. and Collis, K. F. (1991). Multimodal learning and the quality of intelligent behaviou. In H.Rowe (ed.).
Crowley, L Mary.(1987). “The Van Hiele Model of the development of Geometric Thought.” Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of Teacher of mathematics (NCTM). United State of America.
Karso, et.al.(1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.
Suherman, Erman & Winataputra, Udin S. (1992). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Depdikbud. Jakarta.
Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo















Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran kognitif. Didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memeperoleh “insight”untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif  berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih daripada bagian-bagian. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk reppresentatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tampat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.

2.1 Awal Pertumbuhan Teori-Teori Belajar Kognitif
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar “gestalt” peletak dasar psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer ( 1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving sumbangan nya ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang penelitian-penelitian mereka menumbuhkan Psikologi Gestalt yang menekankan bahasa pada  masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum Gestaltis berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur stimulus dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insaightí yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagianb-bagian di dalam suatu situasi permasalahan hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan . Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha atau “oh, I see now”
Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkan simapse pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak di luar kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler mengamati, bahwa kadang kala simpase dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala gagal meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
Wertheirmer (1945) menjadi orang Gestaltis yang mula-mula menghubungkan pekerjaan dengan proses belajar di kelas. Dari pengamatannya itu ia menyesalkan penggunaan menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan Getaltis, semua kagitan belajar ( baik pada simpase maupun pada manusia ) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan anatara bagian dan keseluruhan. Menurut psikologi Gestalt, tingkah laku kejelasan belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.

2.2. Teori Belajar “ Cognitive- Field” dari Lewin
Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin ( 1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar Cognitive- Field” dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu sebagai berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis di mana individu beraksi disebut “ life space”  mencakup perwujudan lingkungan di mana individu beraksi, misalnya Orang-orang ia jumpai, objek materil yang ia hadapi.
Lwin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil iteraksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif ini adalah hasil dari dua macam kekuatan satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Lewin memberikan paranan yang lebih penting pada motivasi dari pada reward.

2.3 Teori Belajar “ Cognitive Development ”dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari kongkret menuju abstrak.
Piaget adalah seorang psikolog “development” karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog yang suatu teori komprehensif tentang perkembangan intelegensi atau proses berpikir. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kualitiatif, melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur yang memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan, maka Piaget tekanan penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi penyesuaian atau adaptasi manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan.
Piaget memakai istilah “ scheme” secara “interchangably” dengan istilah struktur “ scheme”adalah pola tingkah laku yang dapat diulang “ Scheme” berhubungan dengan :
-          Refleks-refleks pembawaan; misalnya bernafas, makan, minum.
-          Scheme mental misalnya “sheme of classification”, “ scheme of operation” (pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap), dan “ scheme of operation”  ( pola tingkah laku yang dapat diamati)
Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu:
1) Struktur, disebut juga “ scheme” seperti yang dikemukakan diatas
2) Isi disebut juga “content” yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
3) Fungsi, disebut juga ‘ function” yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelktual.
Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi “ invariant” yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi: berupa kecakapan seseorang atau organisasi dalam menyusun proses-proses fesis dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheran.
Adaptasi : yaitu adaptasi individu terhadap lingkungan. Adaptasi ini terdiri dari dua macam proses komplermenter, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimillasi : Proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk menghadapi amasalah dalam lingkungannya. Sedangkan akomodasi, proses perubahan respon individu terhadap stimulasi lingkungan. Pengaplikasian di dalam belajar : perkembangan kognitif  bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang beluim diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini siswa akan mengadakan uasaha untuk dapat mengakomodasikan. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan kognitif.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek yaitu: strctur, content, dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektuanya berubah atau berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan; masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikiran anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.
Tahap-tahap perkembangan Piaget:
1)       kematangan
2)       Pengalaman fisik atau lingkungan
3)       Tranmisi sosia;
4)       Eguilibrium atau self regulation

Selanjutnya ia membagi tingkat-tingkat perkembangan yaitu :
1)       Tingkat sensori motoris : 0,0 – 2,0
2)       Tingkat preoperasobal   : 2,0 – 7,0
3)       Tingkat operasi kongkret: 7,0 – 11,0
4)       Tingkat operasi formal   : 11,0
Penjelasan :
1.       Tingkat sesori motoris
Bayi lahir refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak tidak mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya.
2.       Tingkat preoperasional
Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja. Baru pada menjelang akhir tahun ke-2 anak telah memulai mengenal simbolk atau nama. Dalam hubungan ini Philips (1969) membagi atas (1) concretemss, (2) irreversibility (3) centering ( ini tanpak adanya egocerntrisme) ( 4) states vs Transformatiion dan (5) tranductive reasoning.
3.       Tingkat operasi kongkret
Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak. Kecakapan kognitif anak ( 1) combinativity classification, (2) reversibility ( 3) associativity (4) Identity  ( 5) seriallizing. Anak mulai kurang egocentrisme-nya dan lebih socientris ( anak mulai membentuk peer group)
4.       Tingkat operasi formal
Anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks. Flavell (1963) memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
a)     Pada pemikiran abnak remaja adalah hypothetico deductive. Ia telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problem dan membuat keputusan terhadap problem itu secara tepat, tetapi anak kecil belum dapat menyimpulkan apakah hipotesisnya ditolak atau diterima.
b)     Periode propositional thinking
Remaja telah dapat memberikan statement atau proporsi berdasarkan pada data yang kongkret. Tetapi kadang-kadang ia berhadapan dengan proposi yang bertentangan dengan fakta.
c)     Periode combinatorial thinking
Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia telah dapat memisahkan faktor-faktor yang menyangkut dirinya dan mengombinasikan faktor-faktor itu.

2.4 Jerome Bruner dengan “Discovery Learning”nya
Yang menjadikan dasar ide J. Brune ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam kelas. Untuk itu, Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya “ discovery learning” yaitu dimana murid mengorganisasi bayhan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau expository taching dimana guru menerangkan semua informal dan murid harus mempelajari semua bahan atau informasi itu.
Banyak pendapat yang mendukung discovery  learning itu diantaranya : J. Dewey (1933) dengan “complete art of reflective activity “atau terkenal dengan problem solving. Ide Bruner itu ditulis dalam bukunya Process of education Di dalam buku itu ia melaporkan hasil dari suatu konferensi diantara para ahli science, ahli sekolah atau pengajaran dan pendidik tentang pengajaran science  . Dalam hal ini ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke arah yang abstrak.

2.5 Fungsi kognitif
Sebagaimana dijelaskan di lain tempat,melalui fungsi kognitif manusia menghadapi obyek-obyek dalam bentuk-bentuk representatif yang menghadirkan obyek-obyek itu dalam kesadaran. Hal ini paling jelas nampak dalam aktivitas mental berfikir.
1)       Taraf intelegensi-daya kreativitas Istilah “ intelegensi” dapat diartikan dengan dua cara yaitu:
a.       Arti Luas :  kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya berfikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pergaulan sosial, teknis, perdagangan, pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah.
b.       Arti Sempit : kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok intelegensi dalam arti ini, kerap disebut “ kemampuan intelektual “ atau “ kemampuan akademik”
Di dalam intelegensi terdapat beberapa komponen, seperti intelegensi sosial, intelegensi praktis, ineregensi teoristis. Komponen-komponen itu tidak berperan sama besar dalam memberikan prestasi di berbagai kehidupan, misdalnya dalam pergaulan sosial komponen intelegensi soaial berperan lebih banyak. Komponen-komponen itu juga tidak sama-sama kuat dalam intelegensi yang dimiliki seseorang, pada orang A komponen intelegensi teoristis lebih kuat, pada orang B komponen intelegensi praktis lebih kuat. Maka mungkin saja bahwa siswa A berprestasi lebih tinggi dalam semua bidang studi yang menuntut banyak pemikiran teoritis, sedangkan siswa B berprestasi lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang bersifat praktis (perbedaan inter individual). Bahkan siswa C mungkin lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang pertama dan berprestasi lebih rendah dalam semua bidang studi yang kedua (perbedaan intra-individual).
Mengenai hakikat intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat di antara para ahli. Variasi dalam pendapat nampak bila pandangan ahli satu dibandingkan dengan pendapat ahli yang lain, khususnya pendapat dari :
a.       Terman : intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak
b.       Thorndike : intelegensi adalah kemampuan untuk menghubungkan reaksi tertentu dengan perangsang tertentu pula, misalnmya orang mengatakan “meja” bila melihat sebuah benda yang beraksi empat dan mempunyai permukaan yang datar. Maka makin banyak hubungan (koneksi) semacam itu yang dimiliki seseorang, makin intelegensi orang itu.
c.       Spearman : intelegensi merupakan hasil perpaduan antara faktor umum dan sejumlah faktor khusus. Faktor umum ( faktor g) berperan dalam semua bentuk berprestasi, sedangkan faktror-faktor khusus ( S1, S2, S3 dan seterusnya) berperan dalam bentuk-bentuk berprestasi tertentu, seperti berkemampuan bahasa, berkemampuan matematis. Perpaduan itu adalah unik untuk setiap orang, sehingga nampak perbedaan itu adalah unik untuk setiap orang, sehingga nampak perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain.
d.       Thurstone : intelegensi merupakan kombinasi dari beberapa kemampuan dasar ( primary abilities). Kemampuan-kemampuan dasar itu disebut “ faktor-faktor utama” dan berjumlah tujuh, yaitu faktor bilangan, ingatan, penggunaan bahasa, kelancaran kata-kata, pemecahan problema, kecepatan.
e.       Guilford : intelegensi merupakan perpaduan dari banyak faktor khusus. Dibedakan produk yang diperoleh sebagai hasil dari operasi tertentu terhadap materi tertentu. Pada dimensi yang pertama terdapat 5 faktor, pada dimensi yang kedua terdapat 6 faktor dan pada dimensi yang ketiga terdapat 4 fakator. Maka diperoleh jumlah faktor sebanyak 120, yaitu 5 x 6 x 4. rteori Guilford, tidak dapat diuraikan di sini, karena bersifat sangat kompleks. Pembaca yang berminat dapat mempelajari literatur yang membahas teori ini, misalnya J.P Guilford, The Nature og Human Integence, 1967.
f.         Wechsler : intelegency adalah kemampuan untuk bertindak dengan mencapai suatu tujuan, untuk berfikir secara rasional dan untuk berhubungan dengan lingkungan secara efektif. Berdasarkan pengertian ini, disusun beberapa tes intelegensi yang sampai sekarang masih digunakan, misalnya “ Wechenler Intelegence Scale for Children, “ “Wechsler Adult Intelegence Scale,”
g.       Binet : Intelegency adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri. Berdasarkan pengertian ini disusun tres intelegensi yang dikenal dengan nama “test stanford-Binet “ dan sampai sekarang masih digunakan.
h.       Gardner : mengembangkan bahwa terdapat beberapa macam intelegensi yang dapat dibedakan yang satu dari yang lain. Dia mencatat bahwa kerusakan pada bagian otak tertentu mengakibatkan gangguan terhadap intelegensi yang satu, tetapi tidak terhadap intelegensi yang lain. Disamping itu dikemukakannya bahwa orang kerap mencolok dalam satu intelegensi, tetapi tidak menunjukkan kemampuan tinggi dalam intelegensi yang lain.  Jumlah intelegensi yang disebutkan adalah tujuh yaitu kemampuan dalam penggunaan bahasa seperti disaksikan pada penyair dan jurnalistik;kemampuan dalam berfikir logis dan matematis seperti yang terdapat pada seorang ahli riset ilmiah dan seorang ahli matematika.
i.         Sternberg : Teori triarkhis mengenai intelegensi artinya teori yang mengandung tiga bagian. Bagian pertama menyangkut berbagai proses mental yang menjadi komponen pokok dalam operasi mental terhadap representasi dari obyek0obyek dalam alam pkiran. Bagian kedua menyangkut kemampuan seorang untuk menghadapi tantangan baru secara efektif, dan mencapai taraf kemahiran dalam berfikir sehingga mudah berhasil dalam mengatasi segala permasalahan yang muncul. Bagian ketiga dalam teori Sternbeg menyoroti kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam lingkungan yang memungkinkan akan berhasil, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan itu dan untuk mengadakan perubahan terhadap lingkungan itu bila perlu. Kemampuan ini nampak, misalnya dalam ketetapan plihan karier, dalam kemudahan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan kerja dan dalam kelincahan pergaulan sosial.
Meskipun semua pandangan yang dikemukanan di atas sangat bervariasi kebanyakan psikologi dewasa ini cenderung sependapat bahwa tiga komponen inti dalam intelegensi adalah kemampuan untuk menangani representasi mental dalam alam pikiran seperti konsep dan kaidah (berfikir abstrak), kemampuan untuk belajar.  Dari pihak lain adanya perbedaan dalam pandangan mengenai hakikat intelegensi, harus membuat tenaga kependidikan sangat hati-hati dalam membentuk pendapat di bidang ini. Bil seorang siwa dalam testing intelegensi di sekolah mendapat hasil yang tinggi ( IQ-nya tinggi), tidak harus berarti bahwa siswa yang bersangkutan sekaligus memiliki daya kreativitas bagi guru yang berfikir terlalu kaku dan tidak berani keluar dari jalur yang lazimnya yang tinbgi pula. Maklumlah , dalam testing intelegensi di sekolah, corak berfikir konvergen yang lebih berperanan.
Seorang siswa yang terbukti mempunyai IQ yang tinggi dan sekaligus mampu berpikir kreatif sekali, biasanya akan merepotkan guru, karena cendrung untuk berfikir kritis, menemukan pemecahan yang baru dan mengajukan pertanyaan yang sukar dijawab; dia merepotkan diikuti. Torrance telah mengembangkan dua macam tes yang pertama subyek dituntut untuk mengerjakan berbagai soal dengan menggunakan bahasa, misalnya memikirkan dan menyebutkan sebanyak subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa.
Dalam macam tes yang kedua subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa misalnya membuat sebuah gambar yang masing- masing memuat dua garis vertikal yang paralel. Semua soal itu diberi skor dalam tiga komponen, yaitu orisinalitas (sangat sedikit orang menghasilkan pikiran seperti itu), variasi (berapa jumlah jawaban yang berbeda), dan fleksibilitas (berapa jumlah golongan jawaban yang berbeda).
a.       Bakat Khusus merupakan kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu misalnya di bidang studi matematika atau bahasa asing. Orang sering berpendapat bahwa seua bakat khusus merupakan sesuatu yang langsung diturunkan oleh orang tua, misalnya bakat khusus di bidang matematika diperoleh dari orang tua melalui proses generasi biologis. Namun yang terakhir ini tidak akan nampak kalau tidak dikembangkan melalui pendidikan keluarga dan sekolah. Adanya bakat khusus di suatu bidang studi akademik, biasanya baru nampak jelas pada awal masa remaja, karena baru pada masa itu anak telah memperoleh cukup banyak pengalaman, sehingga terbentuk suatu bakat khusus.
b.       Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah diupelajari, disimpan dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak. Hal ini bergantung pada cara materi dipelajari dan diolah;makin mendalam dn makin sistematis pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi dalam ingatan itu sendiri.
c.       Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu dalam bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis, Mengibgat kaitan yang ada antara berpikir yang tepat dan berbahasa yang benar, maka tidak mengherankan bahwa siswa yang kurang mampu berbahasa, tertinggal di belakang dibanding dengan siswa yang berbahasa baik.
d.       Daya fantasi berupa aktivitas kognitif yang mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya menghadirkan kembali hal-hal yang perbnah diamati tyetapi menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, tanggapan “semut sebesar gajah” bukanlah sesuatu yang pernah diamati, meskipun materi untuk tanggapan itu, yaitu semut dan gajah. Berasal dari pengalaman sensorik yang kongkret.
e.       Daya fantasi mempunyai kegunaan kreatif, antisipatif, rekratif dan sosial. Fantasi dapat berguna dalam menciptakan sesuatu yang baru (Kreasi) dalam membayangkan kejadian mendatang dan mempersiapkan diri menghadapi kejadian itu ( antisipasi) dalam melepaskan diri dari ketegangan hidup sehari-hari (rekreasi) dan dalam menempatkan diri dalam situasi hiosup orang lain (sosial)
f.         Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Gaya belajar mengandung beberapa koponen, antara lain gaya kognitif dan tipe belajar. Gaya kognitif adalah cara kognitif digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental di bidang kognitif. Cara khas ini bersifat sangat individual yang kerapkali tidak disadari dan sekali terbentuk, cendrung bertahan terus. Dewasa ini dibedakan empat gaya kognitif yaitu :
1.       Kecendrungan untuk mengamati dan berpikir secara analisis. Sesuatu yang dipelajari ditinjau dari beberapa sidut dan seoalah-olah dibagi atas beberapa bagian yang masing-masing diperdalam, untuk kemudian digabung lagi. Gaya seperti ini dilawankan dengan kecendrungan untuk mempelajari sesuiatu secara global tanpa mengadakan peotongan atau pembagian.
2.       Perbedaan antara kedua kecendrugan ini sangat mirip dengan apa yang dikenal sebagai ketergantungan pada medan (field dependency) lawan ketidak-ketergantungan pada medan (field-independent). Dalam hal yang pertama orang cendrung memandang suatu pola sebagai keseluruhan dan kerap lebih berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial. Oleh karena itu guru yang sungguh-sungguh mengenal kepribadian masing-masing siswa, harus mendampinginya dalam memanfaatkan kelebihannya serta mengatasi kelemahannya..
3.       Ketahanan terhadap kecendrungan untuk meninggalkan arah atau cara yang telah diplih dalam mempelajari sesuatu. Sekali dipilih suatu cara yang dinilai tepat apakah cara itu mudah ditinggalkan untuk diganti dengan cara lain yang nampaknya lebih mudah, tetapi sebanarnya kurang tepat.
4.       Luas sempitnya pembentukan pengertian (konseptualisasi) apakah seseorang cenderung untuk membentuk konsep-konsep yang luas atau yang lebih terbatas. Yang pertama mencakup banyak hal sekaligus yang kedua mencakup beberapa hal saja.
5.       Keendrungan untuk sangat memperhatikan perbedaan antara obyek-obyek atau kurang meperhatikannya. Hal initerutama menyangkut pengamatan yang dalam belajar dapat memegang peranan penting.
6.       Kecendrungan ini mungkin dipengaruhi oleh gaya kognitif yang mendfasari yaitu bereaksi dengan sangat cepat, namun kurang tepat (impulsif) atau bereaksi dengan lebih lamban tetapi tepat( refleksif). Dengan meningkatknya umur anak pada umumnya menjadi lebih refleksif, namun anak yang sejak umur muda cendrung bera\eaksi dengan cepat tidak akan berbalik menjadi orang yang angat bereakasi refleksif siswa yang cendrung untuk terlalu inplusif dalam berpersepsi dan mengerjakan tugas-tugas belajar, harus dibantu untuk bekerja dengan lebih lambat, mialnya dengan menganjurkan supaya membaca soal dalam tes secara teliti dan menjawabnya secara terencana.
7.       Tipe belajar menunjuk pada kecendrungan seseorang untuk mempelajari seauatu dengan cara yang lebih visual atau lebih auditif. Siswa yang tergolong tipe visual cendrung lebih mudah belajar bila materi pelajaran dapat dilihat atau dituangkan dalam bentuk gambar, bagan, duagram dan lain sebagainya. Namun tidak semua siswa akan jelas trgolong kedalam salah satu tipe; mungkin saja seorang siswa akan menyesuaikan tipe belajarnya dengan materi pelajaran yang dihadapi. Adapula siswa yang tidak bertipe belajar apa pun dan mengalami kesulitan, baik dalam menglah materi pelajaran secara visual maupun secara auditif.
g.       Teknik0teknik studi atau cara-cara belajar secara efisien dan efektif jelas membantu siswa dalam belajar lebih-lebih bila belajar diu rumah. Siswa yang telah terbiasa mengikuiti cara belajar yang tepat akan meningkatkan kemampuan belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Van Parreren, siswa yang tidak berkemampuan intelektual tinggi pun dapat belajar menggunakan cara belajar yang tepat .
Pertanyaan yang perlu dijawab ialah ampai berapa jauh butrir (1) sampai (7) dapat berubah lebih-lebih hal yang menguntungkan bagi siswa selama proses belajar mengajar menjadi lebih baik misalnya teknik-teknik studi dan kemampuan berbahasa, daya fantasi dan teknik studi, dapat dipengaruhi secara positif atau ditingkatkan oleh guru dan siswa sendiri. Selama proses-proses belajar-mengajar dalam kurun waktu cukup lama, guru mendapat kesempatan untuk membantu siswa untuk menibgkatkan semua itu. Sehingga lama kelamaan keadaan siswa, dibidang kognitif, menjadi lebih baik. Dengan demikian siswa memperoleh  bekal yang lebih menguntungkan bagi belajar di masa yang akan datang. Siswa sendiri dapat melatih diri di luar proses belajar mengajar di  sekolah, misalnya pada waktu mengerjakan pekerjaan rumah, dengan dibantu oleh keluarga. Namun, usaha-usaha itu harus dimulai seawal mungkin, sejak siswa masuk sekolah dasar.

Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
  • Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
  • Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
  • Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
  • Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
  1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
  2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
  3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
  4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
  5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
  6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
  7.  
Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
Tahapan operasional konkrit
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Tahapan operasional formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
[Informasi umum mengenai tahapan-tahapan
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
  • Universal (tidak terkait budaya)
  • Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
  • Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
  • Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
  • Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif
Proses perkembangan
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
Isu dalam perkembangan kognitif[1]
Isu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu perkembangan psikologi secara umum.
Tahapan perkembangan
Terdapat kontroversi terhadap pembagian tahapan perkembangan berdasarkan perbedaan kualitas atau kuantitas kognisi.
  • Kontinuitas dan diskontinuitas
Kontroversi ini membahas apakah pembagian tahapan perkembangan merupakan proses yang berkelanjutan atau proses terputus pada tiap tahapannya.
Terdapat perbedaan kemampuan fungsi kognisi dari tiap individu
Natur dan nurtur
Kontroversi natur dan nurtur berasal dari perbedaan antara filsafat nativisme dan filsafat empirisme. Nativisme mempercayai bahwa pada kemampuan otak manusia sejak lahir telah dipersiapkan untuk tugas-tugas kognitif. Empirisme mempercayai bahwa kemampuan kognisi merupakan hasil dari pengalaman.
Stabilitas dan kelenturan dari kecerdasan
Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan kemampuan kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan dengan usia 15 tahun.
Sudut pandang lain
Pada saat ini terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan perkembangan kognitif.
Kemajuan ilmu neurosains dan teknologi memungkinkan mengaitkan antara aktivitas otak dan perilaku. Biologis menjadi dasar dari pendekatan ini untuk menjelaskan perkembangan kognitif. Pendekatan ini memiliki tujuan untuk dapat mengantarai pertanyaan mengenai umat manusia yaitu
  •  
    1. Apakah hubungan antara pemikiran dan tubuh, khususnya antara otak secara fisik dan mental proses
    2. Apakah filogeni atau ontogeni yang menjadi awal mula dari struktur biologis yang teratur
  • Teori Konstruksi pemikiran-sosial
Selain biologi, konteks sosial juga merupakan salah satu sudut pandang dari perkembangan kognitif. Perspektif ini menyatakan bahwa lingkungan sosial dan budaya akan memberikan pengaruh terbesar terhadap pembentukan kognisi dan pemikiran anak. Teori ini memiliki implikasi langsung pada dunia pendidikan. Teori Vygotsky menyatakan bahwa anak belajar secara aktif lebih baik daripada secara pasif. Tokoh-tokohnya diantaranya Lev Vygotsky, Albert Bandura, Michael Tomasello
  • Teori Theory of Mind (TOM)
Teori perkembangan kognitif ini percaya bahwa anak memiliki teori maupun skema mengenai dunianya yang menjadi dasar kognisinya. Tokoh dari ToM ini diantaranya adalah Andrew N. Meltzoff
Referensi
  • Bjorklund, D.F. (2000) Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth
  • Cole, M, et al. (2005). The Development of Children. New York: Worth Publishers.
  • Johnson, M.H. (2005). Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford : Blacwell publishing
  • Piaget, J. (1954). "The construction of reality in the child". New York: Basic Books.
  • Piaget, J. (1977). The Essential Piaget. ed by Howard E. Gruber and J. Jacques Voneche Gruber, New York: Basic Books.
  • Piaget, J. (1983). "Piaget's theory". In P. Mussen (ed). Handbook of Child Psychology. 4th edition. Vol. 1. New York: Wiley.
  • Piaget, J. (1995). Sociological Studies. London: Routledge.
  • Piaget, J. (2000). "Commentary on Vygotsky". New Ideas in Psychology, 18, 241–259.
  • Piaget, J. (2001). Studies in Reflecting Abstraction. Hove, UK: Psychology Press.
  • Seifer, Calvin "Educational Psychology"
Bacaan lebih lanjut
Referensi
1.      ^ Bjorklund, D.F. (2000) Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth
2.      ^ Johnson, M.H. (2005) Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford : Blacwell publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar